Sabtu, 07 Des 2024
  • Selamat Datang di Media Edukasi Jatisrono

SEPATU TALI MERAH JAMBU

SEPATU TALI MERAH JAMBU
(Cerita Pendek – Oleh Rohmah Jimi S)

“Memaksa ikan untuk berlari, itu sama saja memaksa simpanse untuk mahir berenang. Mustahil!”

Kalimat itu masih hangat, rasanya baru kemarin aku mendengarnya. Padahal, ini tepat lima kali kalender berganti. Suara laki-laki tua yang dulu selalu kubilang mengganggu, nyatanya bermetamorfosa menjadi sesuatu yang teramat kurindu. Bapak, begitu kami memanggilnya. Semenjak lulus dari sekolah ini, ia tidak pernah menanyakan kabarku. Aku mendengus kesal. Tidak tahukah bahwa Eureka Lazuardi-nya yang dulu pentium satu sekarang sudah jauh berkembang menjadi core i7?

Jalan sempit ini membuat mini morrisku harus berhenti ketika berpapasan dengan kendaraan lain. Mengalihkan perhatian segerombol petani yang tengah menanam padi di tanah kering.

“Hanur? Wah, time passes quickly. Kamu dulu baru sepinggang Mbak Reka, lho!” teriakku setelah menurunkan kaca mobil.

Gadis berperawakan tinggi itu menyeka matanya yang sembab. Ia melempar senyum sebentar, lalu melanjutkan langkah cepatnya tanpa menyapaku. Ada apa ini? Kuenyahkan pikiran burukku lalu duduk di ayunan kayu. Aroma tanah basah menyeret ingatanku pada ribuan halaman sebelum hari ini. Dari ketinggian ini, bibir pantai jelas terlihat. Ombak yang berkejaran, buah pandan laut berkilauan, ini bukan dejavu. Aku pernah kemari dan sekarang aku seperti tengah menyaksikan reka adegan dengan tokoh utama diriku sendiri.

“Aw!” pekikku, Eureka kecil yang jatuh berdebam.

 Seorang laki-laki tua tiba-tiba datang memberikan sebotol air. Dengan nafasnya yang masih tersengal, aku menghabiskannya.

“Itu pestisida anak muda. Kenapa kau habiskan?”

Aku melotot, berusaha memuntahkan apa yang kuminum. Laki-laki tua itu tiba-tiba tertawa. Jelas, ia sedang bercanda. Ia mengajakku duduk di sederet bangku kosong dari potongan kayu. Mataku bergerilya. Setidaknya ada 6 rumah pohon besar yang dipenuhi mozaik dari daun kering. Laki-laki tua itu memberiku sekotak cinderamata.

“Ini tugas pertamamu, untuk mengganti sebotol air putihku yang baru saja kau habiskan.“

Kumisnya yang memutih dan kerut di dahinya membuatku tak bisa menolak. Aku bersama anak-anak yang lain menjajakan dagangan ke pengunjung pantai. Mereka pandai memikat pembeli dengan diksi dan lafal yang fasih. Sebenarnya, tempat apa yang kudatangi ini? Astaga, ini eksploitasi anak di bawah umur. Meskipun aku kerap bolos sekolah untuk menggambar grafiti bersama anak jalanan, aku paham jika ini melanggar pasal.

“Pak, tolong. Kami dieksploitasi. Kami diminta untuk berjualan lalu….” ujarku melapor.

“Kamu pasti anak baru ya?” tanya penjaga pantai sambil menyeringai.

Kalimatku tercekat di kerongkongan. Semua anak-anak menodongku dengan mata marah. Aku persis seperti pesakitan yang siap dijebloskan dalam sel kumuh. Hanur menyeretku, membisikkan sesuatu lirih.

“Market day. Ini hari berjualan. Asinan buah, es kelapa muda, cinderamata. Semua kami yang buat.” bisiknya sambil berjinjit.

Detik itu juga aku sadar, bahwa ini adalah sebuah sekolah. Konyol. Aku kabur dari rumah karena enggan sekolah, bagaimana mungkin aku justru masuk ke dalam sebuah sekolah, lagi?

“Pendidikan tidak melulu soal satu ditambah satu sama dengan dua. Kalian harus menjadi pribadi serba bisa. Siapa yang tidak dapat beradaptasi, dia yang akan mati!” kata Bapak menyambut kedatangan kami.

Senyumku terbit. Aku mengangumi orasi laki-laki tua itu. Selama ini otakku selalu dijejali variabel, aljabar, buku-buku hematologi, vestibular hingga kardiovaskular. Aku tidak berbeda dari robot yang bertanggungjawab penuh atas baterai yang diberikan orangtuaku. Mereka membesarkanku, aku harus menyerahkan rapor dengan nilai sempurna sebagai gantinya.

Sebagai seorang konsultan bisnis yang sedang naik daun, ayah punya perencanaan hebat dalam hidupku. Lulus dari sekolah favorit, kuliah di luar negeri, lalu memulai bisnis. Ia juga punya Plan B untukku, melanjutkan darah warisan ibuku sebagai seorang dokter. Mereka sama sekali tidak tahu, otakku menciut seperti plastik yang dibakar jika dipaksa untuk belajar.

Gerimis mulai datang, membuat berisik suasana yang sedari tadi tenang. Aku meninggalkan lamunanku, terus menyuarakan sapaan yang tak terjawab kecuali gemerisik daun kering yang terinjak. Dimana orang-orang? Sekolah ini seperti tidak berpenghuni. Mataku terhenti pada lukisan sepatu dengan tali merah jambu di dinding. Ini lukisan pertamaku.

“Jadi ini keahlianmu selain kabur dari rumah?” ledek Bapak, saat itu.

“Reka memang pandai melukis Pak, hanya saja tidak sombong.” timpalku sambil bersungut-sungut.

Bapak tertawa lebar. Hanya ia yang tahu, kecintaanku pada kanvas seperti wijayakusama jelang tengah malam yang mekar tanpa aba-aba. Sekolah ini sungguh seperti getah jarak cina yang menyembuhkan lukaku perlahan, dari murka orangtuaku atas planingnya yang kubuat berantakan. Sejak perdebatan panjang yang tidak berujung dan kepingan piring keramik yang tidak terhitung, aku memilih untuk pergi. Meninggalkan ayah yang mengamuk dan bunda yang pura-pura acuh sambil menyemprot golden brayernya. Tanpa takut, aku menyelinap masuk dalam bus pariwisata sebelum akhirnya terhenti di sekolah ini.

Ah, aku banyak mengenang. Kulanjutkan langkahku memperhatikan detail setiap bangunan ini. Tidak banyak yang berubah. Masih ada beberapa petak tanah kosong untuk menanam sayuran dan sepetak lagi untuk budidaya ikan. Ada juga ruang berpasir untuk kami membuat kerajinan tangan. Buku-buku cerita yang berdesakan dan sepaket tenda untuk outing class di akhir pekan. Dari kejauhan Pak Marlan tergopoh-gopoh menyambut, uban tampak menyembul di kepalanya.

“Mmm mbak, Bapak sudah pindah.” ucapnya lirih, terbata.

Aku tersenyum kecut. Tidak heran ia memilih pindah. Alumni sekolah ini memiliki bakat yang bukan kaleng-kaleng. Penemuan deoterions, kulkas anti freon, rompi penghancur sel kanker hingga penulis buku best seller, Bapak yang melahirkan mereka. Termasuk aku, yang pekan lalu berhasil memenangkan kontes desain album cover terbaru milik Adele, penyanyi legendaris berkebangsaan Inggris.

Meskipun bisa lulus dengan ijazah formal, Bapak tidak pernah mengajar dengan metode konvensional. Kami tidak dituntut hafal rumus berderet. Sebaliknya, kami belajar di alam terbuka. Bapak banyak mengamati dan berhasil menemukan bakat kami. Amplop tebal dari donatur kerap ia gunakan untuk mendatangkan para ahli untuk sesekali melatih kami.

“Bapak selalu menanti kedatangan Mbak Reka. Beliau ingin menagih janji, sepatu dengan tali merah jambu.” kata Pak Marlan dengan sendu.

Aku tertawa. Dulu aku membentak Bapak habis-habisan. Saat ia memberitahu orangtuaku tentang keberadaanku. Aku mengamuk dan membuang sepatu aneh kesayangannya ke pantai. Ia menangis sepanjang malam di bibir pantai, seperti kehilangan sekuintal perhiasan.

“Saat itu saya hanya ingin tetap di sekolah ini, Pak. Saya takut ayah kembali memaksa saya.” kataku.

“Saya masih ingat, bapak bilang Mbak Reka bukan spesies primata yang bisa dilatih. Belajar bukan hanya di ruangan dengan tangan tertelungkup di meja. Tugas kami sebagai pendidik hanya menjadi angin yang tau diri. Tau kapan mengencang dan mengendur untuk membantu setiap siswa menemukan passion­nya.” ujar Pak Marlan dengan pandangan kosong.

“Mmm, tapi sampai saat ini saya masih penasaran kenapa Bapak sampai seterpuruk itu hanya karena sepatu.” kataku.

“Itu dari mendiang istrinya, Mbak.” jawab Pak Marlan yang membuatku tercekat.

“Dulu beliau bersikeras menyekolahkan putrinya ke kota. Putrinya seperti Mbak Reka, suka memberontak. Sebelum pergi, putrinya mengganti tali sepatu Bapak dengan tali sepatu miliknya. Tapi naas, dalam perjalanan mereka kecelakaan. Bapak melihat dengan mata kepalanya sendiri, istri dan anaknya tewas berpelukan. Sejak saat itu sepatu tali merah jambu menjadi benda keramat bagi beliau.” lanjutnya.

Mulutku menganga, tiba-tiba rasa bersalah bergelayut di kepala. Aku mempercepat langkah. Memaksa Pak Marlan untuk menunjukkan kediaman Bapak yang baru. Aku akan segera menghambur ke pelukannya, menceritakan hidupku setelah menjadi mahasiswi di University of the Arts London seperti mimpinya.

“Kita sudah sampai.” kata Pak Marlan di depan gundukan tanah basah.

Gigiku bergetar hebat. Separuh kekuatanku tiba-tiba raib. Buliran hangat dari mataku terus beranak pinak. Bagaimana mungkin? Kubaca ulang-ulang sambil terus mengerjapkan mataku yang memburam. Bahkan setelah ratusan kali kubaca, redaksi di nisan itu sama. SAPARDI. Aroma  minyak serimpi masih kuat tercium. Aku seperti anak ayam yang terus berkotek mencari induknya. Bingung. Ini tidak mungkin!

“Bapak sempat menyaksikan Mbak Reka masuk TV, berfoto bersama penyanyi papan atas, menandatangani proyek dengan DC Heathtrow, menjadi gadis viral yang dielu-elukan banyak orang.” kata Pak Marlan terisak.

Tangisku makin pecah.

“Bapak yang terus mendorong Reka untuk mendaki. Sekarang Reka sudah sampai puncak, kenapa Bapak tidak mau menunggu barang sejenak?”

Sungguh, ini pertanyaan retoris. Euforia kemenanganku hanyut dalam duka yang mengalir landai. Bertahun-tahun aku disini, menjadi siswa Sekolah Alam Taruna Teladan yang tak mengenal seragam. Tak mempermasalahkan nominal uang saku dan kecerdasan yang harus diadu. Kami selalu terbangun dengan binar mata menyala untuk belajar hal baru.Mendaki gunung, mengenal kontur tanah, bebatuan, dan jenis tanaman yang membuat candu. Sambil menyeruput kopi hangat dan melihat awan yang berkejaran di puncak bukit, kami belajar banyak hal. Tanpa buku-buku tebal, LCD besar dan seperangkat gawai canggih, tapi kami mampu merekamnya dengan baik.

Sebuah plumeria kering jatuh di kepalaku dengan pelan, mengantar kepulangan Bapak bersama senja yang tak bisa kutahan.

****

Rohmah Jimi S merupakan guru di SD Negeri 2 Tasikhargo Jatisrono Wonogiri. Ia tinggal di Soco Rt 02 Rw 04 Slogohimo. Beberapa karyanya berupa cerpen, puisi dan artikel dimuat di berbagai media massa. Buku terbarunya berjudul “Ada Apa dengan Media Sosial”  menyabet penghargaan Buku Terbaik Kategori Media Sosial yang diadakan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Penulis dapat dihubungi di nomor hp 085741663997.

KELUAR